BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan
terbaru membuktikan bahwa manajemen tidak cukup hanya memastikan bahwa proses
pengelolaan manajemen berjalan dengan efisien. Diperlukan instrumen baru, Good
Corporate Governance (GCG) untuk memastikan bahwa manajemen berjalan dengan
baik.
Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder. Dari berbagai hasil pengkajian yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset independen nasional dan internasional, Pada tahun 1999, kita melihat negara-negara di Asia Timur yang sama-sama terkena krisis mulai mengalami pemulihan, kecuali Indonesia. Harus dipahami bahwa kompetisi global bukan kompetisi antarnegara, melainkan antarkorporat di negara-negara tersebut. Jadi menang atau kalah, menang atau terpuruk, pulih atau tetap terpuruknya perekonomian satu negara bergantung pada korporat masing-masing (Moeljono, 2005).
Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder. Dari berbagai hasil pengkajian yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset independen nasional dan internasional, Pada tahun 1999, kita melihat negara-negara di Asia Timur yang sama-sama terkena krisis mulai mengalami pemulihan, kecuali Indonesia. Harus dipahami bahwa kompetisi global bukan kompetisi antarnegara, melainkan antarkorporat di negara-negara tersebut. Jadi menang atau kalah, menang atau terpuruk, pulih atau tetap terpuruknya perekonomian satu negara bergantung pada korporat masing-masing (Moeljono, 2005).
Survey dari
Booz-Allen di Asia Timur pada tahun 1998 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
indeks corporate governance paling rendah dengan skor 2,88 jauh di bawah
Singapura (8,93), Malaysia (7,72) dan Thailand (4,89). Rendahnya kualitas GCG
korporasi-korporasi di Indonesia ditengarai menjadi kejatuhan perusahaan-perusahaan
tersebut.
Dua teori utama
yang terkait dengan corporate governance adalah stewardship theory dan agency
theory (Chinn,2000; Shaw,2003). Stewardship theory dibangun di atas asumsi
filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat
dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan
kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia yang
dikehendaki para pemegang saham. Dengan kata lain, stewardship theory memandang
manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan
publik maupun stakeholder. Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh
Michael Johnson, memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai “agents” bagi
para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya
sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap
pemegang saham.
Good corporate
governance (GCG) secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk
semua stakeholder (Monks,2003).
Ada empat
komponen utama yang diperlukan dalam konsep good corporate governance, (Kaen,
2003; Shaw, 2003) yaitu fairness, transparency, accountability, dan
responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip good
corporate governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas
laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja
yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental
perusahaan.
Berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) No. Kep-117/M-MBU/2002
tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance
(GCG), Kementerian BUMN menekankan kewajiban BUMN untuk menerapkan GCG secara
konsisten dan menjadikan prinsip-prinsip GCG sebagai landasan operasionalnya.
Penerapan GCG ini pada dasarnya ditujukan oleh Kementerian BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan peningkatan prinsip akuntabilitas dalam
kegiatan operasional BUMN.
PT PELNI sebagai
salah satu BUMN menjadi salah satu sasaran dari penyelenggaraan keputusan
tersebut. Untuk menilai sejauh mana kesesuaian best practice GCG yang
diterapkan PELNI, sejak 17 November 2008 dilakukan diagnostic assessment
penerapan GCG PELNI. Assessment ini dilakukan oleh Tim Penerapan GCG dari BPKP
DKI Jakarta. Setelah dilakukan diagnostic assessment ini, PELNI dapat
mengetahui proses pengelolaan perusahaan yang membutuhkan perbaikan (areas of
improvement). Setelah mengetahui areas of improvement demi peningkatan upaya
tata kelola perusahaan yang baik, BUMN diharapkan melakukan perbaikan penerapan
GCG tersebut sehingga tata kelola perusahaan semakin baik.
Diagnostic
assessment GCG tersebut berakhir pada 25 Februari 2009 dengan tahapan yang
dimulai dari review terhadap dokumen-dokumen penting perusahaan. Review dokumen
tersebut antara lain anggaran dasar, peraturan-peraturan, pedoman-pedoman
perusahaan, laporan-laporan perusahaan, risalah-risalah rapat (RUPS, Direksi
Komisaris, dan Gabungan Direksi dan Komisaris) dan dokumen-dokumen lainnya.
B. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui penerapan GCG (Good
Corporate Governence) Pada PT Pelni (Persero).
2.
Untuk mengetahui perubahan setelah di
terapkannya GCG (Good Corporate Governence) dan sebelum diterapkannya GCG (Good
Corporate Governence) Pada PT Pelni (Persero).
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Gambaran
Umum Perusahaan
PT. Pelayaran
Nasional Indonesia atau yang lebih dikenal dengan PT. Pelni berdiri pada tanggal
28 April 1952 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor M2/1/2 tanggal
28 April 1952 dan Nomor A2/1/1 tanggal 19 April 1952 dengan nama PT. Pelayaran
Nasional Indonesia serta dituangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
Nomor 50 tanggal 20 Juni 1952. Keputusan Pemerintah untuk mendirikan perusahaan
pelayaran nasional dimaksudkan sebagai upaya menunjang kegiatan angkutan laut
nasional yang pada waktu itu jaringan angkutan laut masih dikuasai oleh
Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), salah satu perusahaan pelayaran
milik Kerajaan Belanda yang masih beroperasi di perairan Indonesia setelah
kemerdekaan.
PT. Pelni
(Persero) mengalami dua kali perubahan status hingga saat ini. Pada tahun 1961,
Pemerintah menetapkan perubahan status dari Perusahaan Perseroan menjadi
Perusahaan Negara (PN) dan dicantumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor LN 1961. Kemudian pada tahun 1975, status perusahaan diubah dari
Perusahaan Negara (PN) menjadi Perseroan Terbatas (PT) sesuai dengan Akta
Pendirian Nomor 31 tanggal 30 Oktober 1975. Perubahan tersebut dicantumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia Nomor 562-1976 dan Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia Nomor 60 tanggal 27 Juni 1976 dan Akta Perubahan Nomor 22
tanggal 4 Maret 1998 tentang Anggaran Dasar PT. Pelayaran Nasional Indonesia
yang diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 16 April 1999
Nomor 31 tambahan Berita Negara Nomor 2203, beserta perubahan terakhir dalam
Akta Pernyataan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum
Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) Nomor 2 tanggal 10 Juni 2013 yang
dibuat di hadapan Nanda Fauz, SH, MKn, Notaris di Jakarta yang dimuat dalam
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-AH.01.10-24392 tanggal
17 Juli 2013.
PT. Pelni
(Persero) mengoperasikan 30 (tiga puluh) kapal dengan berbagai tipe hingga saat
ini, Selain pengoperasian armada kapal untuk menunjang usaha inti perusahaan,
PT. Pelni (Persero) memiliki 46 (empat puluh enam) cabang yang tersebar di
seluruh pelosok Indonesia. Untuk sebuah Perusahaan bersekala nasional PT Pelni
memiliki Visi-misi yaitu sebagai berikut:
Visi
PT. Pelni (Persero) yaitu :
“Menjadi
perusahaan pelayaran yang tangguh dan pilihan utama pelanggan”
Misi PT. Pelni (Persero) yaitu:
-
Mengelola dan mengembangkan angkutan
laut guna menjamin aksesibilitas masyarakat untuk menunjang terwujudnya Wawasan
Nusantara ;
-
Meningkatkan kontribusi pendapatan bagi
negara, karyawan serta berperan di dalam pembangunan lingkungan dan pelayanan
kepada masyarakat ;
-
Meningkatkan nilai perusahaan melalui
kreativitas, inovasi dan pengembangan kompetensi sumber daya manusia ;
-
Menjalankan usaha secara adil dengan
memperhatikan azas manfaat bagi semua pihak yang terlibat (stakeholders)dan
menerapkan Prinsip Good Corporate Governance
Nilai-nilai Utama (Core Values) PT.
Pelni (Persero)
Dalam mencapai
visinya, PT. Pelni (Persero) memiliki komitmen untuk menerapkan tata nilai
utama (core values), sebagai berikut:
-
Integritas (integrity), yakni setiap
individu dalam perusahaan harus bertindak dengan integritas, kejujuran,
konsisten, komitmen, berani dan dapat dipercaya, dalam rangka mencapai
keunggulan dalam kinerja, berdasarkan tuntutan “stakeholders”.
-
Layanan berkualitas (service
excellence), yakni setiap individu dalam perusahaan selalu fokus pada pelanggan
untuk memberikan pelayanan prima dan memastikan produk/jasa yang dikerjakan
dapat memenuhi kebutuhan pelanggan.
-
Pembelajaran berkesinambungan
(continuous learning), yakni setiap individu dalam perusahaan harus mampu
mentransformasikan dirinya secara berkelanjutan, berdasarkan tuntutan yang
sedang maupun akan terjadi. Kesemuanya itu dapat terjadi apabila selalu
dipraktekkan semangat belajar dan mencari cara baru yang lebih baik secara
terus menerus (entrepreneurship), baik di tingkatan individu, kelompok maupun perusahaan.
-
Kepedulian (careness), yakni setiap
individu dalam perusahaan wajib menjaga keselamatan, keamanan dan kesehatan
lingkungan untuk pegawai, mitra kerja, pelanggan maupun masyarakat pada
umumnya.
B. Penerapan
GCG (Good Corporate Governence) Pada PT Pelni (Persero)
Pada era tahun
90 an merupakan masa kejayaan Pelni, PT Pelni sebagai perusahaan plat merah
menjadi perusahaan pelayaran terbesar masa itu. Karyawan bisa mendapatkan bonus
4 kali hingga 5 kali lipat. Pelni juga memiliki kapal hingga 50-an unit. Namun
label BUMN di tubuh PT Pelni cenderung dipandang lemah dalam hal pelayanan
serta birokrasi. Pelayanan konsumen sangat buruk, ini bisa dilihat dari proses
pembilian tiket, proses debarkasi-embarkasi penumpang hingga layanan penumpang diatas
kapal. Selain itu SDM di rasa kurang berkualitas. Sebagia gambaran pada era
tahun 90an tersebut penjualan tiket PT Pelni hanya ditopang oleh penjualan
melalui loket di cabang dan kantor penjualan, sehinga proses pembelian tiket
tidak efektif bagi penumpang dan menumbuh kembangkan para calo. Selain itu
proses kesemrawutan di pelabuhan menambah parah sektor pelayanan, menimbulkan
banyaknya kejahatan (pencopetan, pembiusan dll). Selain faktor darat, faktor
pelayanan di atas kapal pun sangat buruk. Itu terbukti dengan banyaknya
penumpang tanpa tiket, pelayanan makan penumpang yang tidak layak dll,
menyebabkan image perusahaan sangat buruk di mata pelanggan namun demikian
banyak pelanggan masih setia di karenakan transportasi murah pada masa itu
sangat sedikit.
Namun begitu
muncul kebijakan LCC mengakibatkan pelni kehilangan 1 juta penumpang setiap
tahunnya. Seperti halnya pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga, keuangan PT
Pelni setelah terpukul oleh kebijakan LCC di tambah banyak armada yang sudah
tua yang harus segera di lego namun perusahaan masih belum bisa membeli
gantinya, mengakibatkan Pelni semakin terpuruk.
LCC (low cost
carier) adalah penerbangan dengan biaya rendah atau sebuah maskapai penerbangan
yang menyediakan harga tiket pesawat
dengan harga terjangkau dengan mengurangi beberapa layanan umum bagi penumpang
pesawat seperti layanan catering, minimalis reservasi sehingga menekan biaya
cost penerbangan dan harga nya dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
Dengan
permasalahan itu manajemen PT Pelni sadar harus segera berubah, salah satunya
dengan penerapan tata kelola perusahaan yang harus semakin baik. Maka dengan
landasan kepmen BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 31 juli 2002 mulai
menerapkan GCG (Good Corporate Governence) dan sejak itu terus dilakukan
diagnostic Assesment hingga selesai tahun 2007.
Sejak selesainya
Diagnostic Assessment penerapan GCG PT. PELNI tahun 2007, selama tahun 2009
hingga tahun 2011 PT PELNI melakukan banyak upaya untuk meningkatkan penerapan
praktik GCG. Upaya-upaya tersebut dilakukan sesuai dengan rekomendasi Area of
Improvement.
Penyempurnaan
dan Sosialisasi ini meliputi Pedoman Tata Kelola Perusahaan (Code of Corporate
Governance) dan pedoman perilaku Insan PELNI (Code of Conduct). Selain menyusun Pedoman
Tata Kelola Perusahaan dan Pedoman Perilaku, PELNI bersama Tim Manajemen Risiko
BPKP melakukan proses penyusunan kebijakan Manajemen Risiko. Proses ini diawali
dengan melakukan serangkaian assessment risiko yang disebut dengan “Program 100
Hari Kerja Manajemen Risiko”.
Setelah
keseluruhan Program 100 Hari Kerja Manajemen Risiko tersebut, Tim BPKP
menetapkan 10 Risiko teratas (Top Ten Risk) yang kemudian dipaparkan di depan
Dewan Direksi dan Senior Manager PT. PELNI. Hasil akhir dari Risk Assessment
ini dibentuk dalam buku Laporan Hasil Assessment
Manajemen Risiko PT Pelni (Persero) tahun 2010. Hasil assessment ini
ditandatangani oleh Kepala Perwakilan BPKP DKI Jakarta I dan digandakan serta
didistribusikan ke stakeholder terkait. Pedoman Manajemen Risiko PT PELNI ini
menjadi landasan kebijakan Risiko PT. PELNI yang ditetapkan pada 5 Juli 2011
melalui Surat Keputusan Direksi Nomor 127/HKO.01/DIR/VII-2011.
Di tengah
persaingan bisnis transportasi, PELNI melakukan pembenahan dalam kinerja
perusahaannya dengan menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance
(GCG). Prinsip GCG atau Tata Kelola Perusahaan yang baik ini merupakan
pendorong untuk melakukan proses bisnis yang lebih efektif dan efisien. Dari
2007, PELNI mulai menerapkan prinsip GCG tersebut sebagai landasan operasional
kegiatan usaha perusahaan.
PELNI kembali
melakukan penilaian (assessment) penerapan GCG PT PELNI (Persero) untuk
mengetahui gambaran pengelolaan GCG pada 2010. Penilaian tersebut dilakukan
oleh Tim dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dari 01 Februari
2011- 31 Mei 2011. Setelah melalui proses panjang, pada 05 Juli 2011, Tim dari
BPKP memaparkan hasil assessment Penerapan GCG PT PELNI (Persero) di depan
Dewan Komisaris, Dewan Direksi, dan pejabat PELNI di Kantor PELNI Pusat,
Jakarta.
Hasil dari
penilaian penerapan GCG ini cukup memuaskan, PELNI mendapatkan skor 72,01 dari
skor maksimum 100. Skor ini melesat naik dari skor assessment sebelumnya pada
2007 yaitu 48,33. Secara keseluruhan, skor ini memiliki predikat cukup dan
masih harus ditingkatkan untuk mendekati praktik-praktik terbaik GCG.
Aspek-aspek yang diukur dalam penilaian ini antara lain Hak dan Tanggung Jawab
Pemegang Saham/RUPS, Kebijakan GCG, Penerapan GCG, Pengungkapan Informasi serta
Komitmen. Indikator yang diterapkan untuk PELNI ada 49 indikator dengan 151
parameter yang mencakup aspek-aspek di atas. Dari skor di atas, presentase
capaian tertinggi ada pada aspek Kebijakan GCG sebesar 91,71%. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya ketersediaan struktur GCG di antaranya Pedoman GCG
(Good Corporate Governance), Pedoman Perilaku (Code of Conduct), Piagam Komite
Audit, (Audit Comittee Charter), Piagam SPI (Internal Audit Charter), Sistem
Pengendalian Intern, kebijakan teknologi dan kebijakan terkait dengan stakeholders.
Pemaparan hasil assessment GCG yang dilakukan oleh Tim BPKP tersebut dijelaskan
oleh Kepala Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta, Ruchijat, Ak,MBA. Dalam
pemaparannya, Ruchijat menekankan tentang perbaikan-perbaikan (area of
improvement) yang masih perlu dilakukan di PELNI. Untuk metode yang diterapkan
Tim BPKP dalam penilaian ini meliputi tahapan pendahuluan berupa penyamaan
persepsi, tahapan pekerjaan lapangan (pengumpulan data, review dokumen,
kuesioner, wawancara dan observasi), tahapan pengolahan data/analisis. Dalam
tahapan analisis ini, dilakukan pemberian skor dalam setiap aspek yang diukur.
Dengan skor tersebut, perusahaan bisa mengetahui hal-hal yang masih perlu
dilakukan untuk meningkatkan kinerja dan proses bisnis yang ada.
Penerapan praktik
GCG ini mengacu pada Surat Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002
tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik
Negara Selain itu, penerapan ini juga berdasarkan pada pasal 5 ayat 3
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang
mewajibkan pengelolaan BUMN berdasarkan prinsip-prinsip profesionalisme,
efisiensi, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
C. Perubahan
setelah di terapkannya GCG (Good Corporate Governence) PT Pelni (Persero)
Setelah di
paparkan tentang performa perusaahan pada tahun 90-an hingga awal 2000-an, dari
pelayanan yang sangat buruk, hingga keuangan yang terpuruk. Pada tahun 2007 PT
Peni mulai membuat perubahan melalui penerapan GCG yang di combain dengan
sistem pengendalian internal yang lebih baik. Kombinasi GCG dan SPI ini sedikit
demi sedikit merubah wajah Pelni di mata pelanggan. Kombinasi ini seperti
tertera dalam gambar:
Perubahan itu
dirasa sangat dirasakan oleh para pelanggan PT Pelni baik penumpang, barang
maupun keagenan. Dengan adanya E-tiketing pelanggan dalam membeli tiket PT
Pelni tidak perlu datang ke loket penjualan PT Pelni. Dengan E-tiketing, tiket
dapat di peroleh melalui gerai pos, minimarket, agen tiket atau dapat dibeli
langsung via Online. Dengan penerapan sistem ini meminimalisir penumpang tanpa
tiket, karena dengan penerapan ini otomatis one man one site dapat di jalankan.
PT Pelni juga
melakukan Spesial docking singgel class di beberapa kapal PSO dengan maksud
merubah seluruh kabin kelas 1 dan 2 menjadi kelas Ekonomi wisata perubahan ini
juga merubah tingkat kenyamanan penumpang dengan mengganti seluruh ruang
ekonomi menjadi ruang kabin berisi 6 orang, ac yang di perbaharui, kamar mandi
menjadi eksklusif dll. Karena kebanyakan pangsa penumpang PT Pelni adalah
menengah kebawah, dengan berubah menjadi singgle class kapasitas penumpang
menjadi meningkat otomatis pendapatan PT Pelni juga meningkat.
Selain itu perusahaan
juga melakukan Modifikasi kapal menjadi 3 in 1 dan 2 in 1. Kapal-kapal PT Pelni
yang mampu melakukan on time performance atau ketepatan waktu berangkat maupun
tiba sangat di minati oleh pengusaha swasta/BUMN untuk melakukan pengiriman
barang. Oleh kerena itu perubahan bentuk kapal yang semula kapal penumpang di
ubah menjadi kapal penumpang, barang dan kendaraan. Distribusi barang, bahan
pokok dan kendaraan keluar pulau sangat besar sehingga mampu meninggatkan
pendapatan perusahaan.
Selain perubahan
pada sektor fasilitas PT Pelni juga melakukan transformasi di sektor pelayanan
makan penumpang, salah satunya penambahan menu suplemen food dimana penumpang
selain mendapatkan makanan utama juga mendapatkan snack, susu dan juice.
Perubahan pelayanan makan penumpang ini di rasa sangat merubah image PT Pelni
yang semula terkenal dengan makanan penumpang yang kurang layak namun dengan
penambahan dan perubahan sistem permakanan penumpang makanan penumpang PT Pelni
sudah di katakan sangat memadai.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pada era tahun 90 an hingga awal 2000 PT
Pelni sangat lemah dalam hal pelayanan dan birokrasi, namun masih sedikitnya
persaingan usaha saat itu PT Pelni masih merajai lautan. Seiring berkembangnya
teknologi dan munculnya berbagai kebijakan baru pemerintah di tambah lagi
pelayanan yang buruk menyebabkan lambat tapi pasti PT Pelni mulai di tinggalkan
para pelanggannya. Menyadari hal itu PT Pelni mulai berubah dalam hal
manajerial, maupun kebijakan internal.
Perubahan mendasar yang telah di lakukan
PT Pelni adalah pelaksanaan GCG dan membuat sistem pengendalian internal
perusahaan. menciptakan sistem E-Tiketing, spesial docking Single Class,
Modifikasi Kapal 3 in 1 dan 2 in 1, perubahan sistem layanan makanan penumpang
kapal dan sinergi BUMN di berbagai bidang.
B.
SARAN
Perusahaan perlu melakukan perbaikan
pada beberapa indikator antara lain perbaikan pelayanan kecepat tanggapan
karyawan dalam menanggapi ketidaknyamanan penumpang selama perjalanan, jaminan
keselamatan dan keamanan selama perjalanan, kemampuan berkomunikasi dan
keramahan serta kesopanan karyawan di kapal. Selain perubahan-perubahan
tersebut diharapkan PT Pelni juga melakukan inovasi di bidang teknologi
informasi.
0 komentar:
Posting Komentar