MANAJEMEN PERUSAHAAN PUBLIK (PT PELNI PERSERO)

Unknown


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan terbaru membuktikan bahwa manajemen tidak cukup hanya memastikan bahwa proses pengelolaan manajemen berjalan dengan efisien. Diperlukan instrumen baru, Good Corporate Governance (GCG) untuk memastikan bahwa manajemen berjalan dengan baik.
Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder. Dari berbagai hasil pengkajian yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset independen nasional dan internasional, Pada tahun 1999, kita melihat negara-negara di Asia Timur yang sama-sama terkena krisis mulai mengalami pemulihan, kecuali Indonesia. Harus dipahami bahwa kompetisi global bukan kompetisi antarnegara, melainkan antarkorporat di negara-negara tersebut. Jadi menang atau kalah, menang atau terpuruk, pulih atau tetap terpuruknya perekonomian satu negara bergantung pada korporat masing-masing (Moeljono, 2005).
Survey dari Booz-Allen di Asia Timur pada tahun 1998 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indeks corporate governance paling rendah dengan skor 2,88 jauh di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72) dan Thailand (4,89). Rendahnya kualitas GCG korporasi-korporasi di Indonesia ditengarai menjadi kejatuhan perusahaan-perusahaan tersebut.
Dua teori utama yang terkait dengan corporate governance adalah stewardship theory dan agency theory (Chinn,2000; Shaw,2003). Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia yang dikehendaki para pemegang saham. Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder. Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh Michael Johnson, memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai “agents” bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham.
Good corporate governance (GCG) secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder (Monks,2003).
Ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep good corporate governance, (Kaen, 2003; Shaw, 2003) yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip good corporate governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance (GCG), Kementerian BUMN menekankan kewajiban BUMN untuk menerapkan GCG secara konsisten dan menjadikan prinsip-prinsip GCG sebagai landasan operasionalnya. Penerapan GCG ini pada dasarnya ditujukan oleh Kementerian BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan peningkatan prinsip akuntabilitas dalam kegiatan operasional BUMN.
PT PELNI sebagai salah satu BUMN menjadi salah satu sasaran dari penyelenggaraan keputusan tersebut. Untuk menilai sejauh mana kesesuaian best practice GCG yang diterapkan PELNI, sejak 17 November 2008 dilakukan diagnostic assessment penerapan GCG PELNI. Assessment ini dilakukan oleh Tim Penerapan GCG dari BPKP DKI Jakarta. Setelah dilakukan diagnostic assessment ini, PELNI dapat mengetahui proses pengelolaan perusahaan yang membutuhkan perbaikan (areas of improvement). Setelah mengetahui areas of improvement demi peningkatan upaya tata kelola perusahaan yang baik, BUMN diharapkan melakukan perbaikan penerapan GCG tersebut sehingga tata kelola perusahaan semakin baik.
Diagnostic assessment GCG tersebut berakhir pada 25 Februari 2009 dengan tahapan yang dimulai dari review terhadap dokumen-dokumen penting perusahaan. Review dokumen tersebut antara lain anggaran dasar, peraturan-peraturan, pedoman-pedoman perusahaan, laporan-laporan perusahaan, risalah-risalah rapat (RUPS, Direksi Komisaris, dan Gabungan Direksi dan Komisaris) dan dokumen-dokumen lainnya.

B.     Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui penerapan GCG (Good Corporate Governence) Pada PT Pelni (Persero).
2.      Untuk mengetahui perubahan setelah di terapkannya GCG (Good Corporate Governence) dan sebelum diterapkannya GCG (Good Corporate Governence) Pada PT Pelni (Persero).



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Gambaran Umum Perusahaan
PT. Pelayaran Nasional Indonesia atau yang lebih dikenal dengan PT. Pelni berdiri pada tanggal 28 April 1952 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor M2/1/2 tanggal 28 April 1952 dan Nomor A2/1/1 tanggal 19 April 1952 dengan nama PT. Pelayaran Nasional Indonesia serta dituangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 50 tanggal 20 Juni 1952. Keputusan Pemerintah untuk mendirikan perusahaan pelayaran nasional dimaksudkan sebagai upaya menunjang kegiatan angkutan laut nasional yang pada waktu itu jaringan angkutan laut masih dikuasai oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), salah satu perusahaan pelayaran milik Kerajaan Belanda yang masih beroperasi di perairan Indonesia setelah kemerdekaan.
PT. Pelni (Persero) mengalami dua kali perubahan status hingga saat ini. Pada tahun 1961, Pemerintah menetapkan perubahan status dari Perusahaan Perseroan menjadi Perusahaan Negara (PN) dan dicantumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor LN 1961. Kemudian pada tahun 1975, status perusahaan diubah dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perseroan Terbatas (PT) sesuai dengan Akta Pendirian Nomor 31 tanggal 30 Oktober 1975. Perubahan tersebut dicantumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 562-1976 dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 60 tanggal 27 Juni 1976 dan Akta Perubahan Nomor 22 tanggal 4 Maret 1998 tentang Anggaran Dasar PT. Pelayaran Nasional Indonesia yang diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 16 April 1999 Nomor 31 tambahan Berita Negara Nomor 2203, beserta perubahan terakhir dalam Akta Pernyataan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) Nomor 2 tanggal 10 Juni 2013 yang dibuat di hadapan Nanda Fauz, SH, MKn, Notaris di Jakarta yang dimuat dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-AH.01.10-24392 tanggal 17 Juli 2013.
PT. Pelni (Persero) mengoperasikan 30 (tiga puluh) kapal dengan berbagai tipe hingga saat ini, Selain pengoperasian armada kapal untuk menunjang usaha inti perusahaan, PT. Pelni (Persero) memiliki 46 (empat puluh enam) cabang yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Untuk sebuah Perusahaan bersekala nasional PT Pelni memiliki Visi-misi yaitu sebagai berikut:
Visi PT. Pelni (Persero) yaitu :
“Menjadi perusahaan pelayaran yang tangguh dan pilihan utama pelanggan”
Misi PT. Pelni (Persero) yaitu:
-       Mengelola dan mengembangkan angkutan laut guna menjamin aksesibilitas masyarakat untuk menunjang terwujudnya Wawasan Nusantara ;
-       Meningkatkan kontribusi pendapatan bagi negara, karyawan serta berperan di dalam pembangunan lingkungan dan pelayanan kepada masyarakat ;
-       Meningkatkan nilai perusahaan melalui kreativitas, inovasi dan pengembangan kompetensi sumber daya manusia ;
-       Menjalankan usaha secara adil dengan memperhatikan azas manfaat bagi semua pihak yang terlibat (stakeholders)dan menerapkan Prinsip Good Corporate Governance
Nilai-nilai Utama (Core Values) PT. Pelni (Persero)
Dalam mencapai visinya, PT. Pelni (Persero) memiliki komitmen untuk menerapkan tata nilai utama (core values), sebagai berikut:
-       Integritas (integrity), yakni setiap individu dalam perusahaan harus bertindak dengan integritas, kejujuran, konsisten, komitmen, berani dan dapat dipercaya, dalam rangka mencapai keunggulan dalam kinerja, berdasarkan tuntutan “stakeholders”.
-       Layanan berkualitas (service excellence), yakni setiap individu dalam perusahaan selalu fokus pada pelanggan untuk memberikan pelayanan prima dan memastikan produk/jasa yang dikerjakan dapat memenuhi kebutuhan pelanggan.
-       Pembelajaran berkesinambungan (continuous learning), yakni setiap individu dalam perusahaan harus mampu mentransformasikan dirinya secara berkelanjutan, berdasarkan tuntutan yang sedang maupun akan terjadi. Kesemuanya itu dapat terjadi apabila selalu dipraktekkan semangat belajar dan mencari cara baru yang lebih baik secara terus menerus (entrepreneurship), baik di tingkatan individu, kelompok maupun perusahaan.
-       Kepedulian (careness), yakni setiap individu dalam perusahaan wajib menjaga keselamatan, keamanan dan kesehatan lingkungan untuk pegawai, mitra kerja, pelanggan maupun masyarakat pada umumnya.

B.     Penerapan GCG (Good Corporate Governence) Pada PT Pelni (Persero)
Pada era tahun 90 an merupakan masa kejayaan Pelni, PT Pelni sebagai perusahaan plat merah menjadi perusahaan pelayaran terbesar masa itu. Karyawan bisa mendapatkan bonus 4 kali hingga 5 kali lipat. Pelni juga memiliki kapal hingga 50-an unit. Namun label BUMN di tubuh PT Pelni cenderung dipandang lemah dalam hal pelayanan serta birokrasi. Pelayanan konsumen sangat buruk, ini bisa dilihat dari proses pembilian tiket, proses debarkasi-embarkasi penumpang hingga layanan penumpang diatas kapal. Selain itu SDM di rasa kurang berkualitas. Sebagia gambaran pada era tahun 90an tersebut penjualan tiket PT Pelni hanya ditopang oleh penjualan melalui loket di cabang dan kantor penjualan, sehinga proses pembelian tiket tidak efektif bagi penumpang dan menumbuh kembangkan para calo. Selain itu proses kesemrawutan di pelabuhan menambah parah sektor pelayanan, menimbulkan banyaknya kejahatan (pencopetan, pembiusan dll). Selain faktor darat, faktor pelayanan di atas kapal pun sangat buruk. Itu terbukti dengan banyaknya penumpang tanpa tiket, pelayanan makan penumpang yang tidak layak dll, menyebabkan image perusahaan sangat buruk di mata pelanggan namun demikian banyak pelanggan masih setia di karenakan transportasi murah pada masa itu sangat sedikit.
Namun begitu muncul kebijakan LCC mengakibatkan pelni kehilangan 1 juta penumpang setiap tahunnya. Seperti halnya pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga, keuangan PT Pelni setelah terpukul oleh kebijakan LCC di tambah banyak armada yang sudah tua yang harus segera di lego namun perusahaan masih belum bisa membeli gantinya, mengakibatkan Pelni semakin terpuruk.
LCC (low cost carier) adalah penerbangan dengan biaya rendah atau sebuah maskapai penerbangan yang menyediakan harga tiket pesawat dengan harga terjangkau dengan mengurangi beberapa layanan umum bagi penumpang pesawat seperti layanan catering, minimalis reservasi sehingga menekan biaya cost penerbangan dan harga nya dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
Dengan permasalahan itu manajemen PT Pelni sadar harus segera berubah, salah satunya dengan penerapan tata kelola perusahaan yang harus semakin baik. Maka dengan landasan kepmen BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 31 juli 2002 mulai menerapkan GCG (Good Corporate Governence) dan sejak itu terus dilakukan diagnostic Assesment hingga selesai tahun 2007.
Sejak selesainya Diagnostic Assessment penerapan GCG PT. PELNI tahun 2007, selama tahun 2009 hingga tahun 2011 PT PELNI melakukan banyak upaya untuk meningkatkan penerapan praktik GCG. Upaya-upaya tersebut dilakukan sesuai dengan rekomendasi Area of Improvement.
Penyempurnaan dan Sosialisasi ini meliputi Pedoman Tata Kelola Perusahaan (Code of Corporate Governance) dan pedoman perilaku Insan PELNI (Code of Conduct). Selain menyusun Pedoman Tata Kelola Perusahaan dan Pedoman Perilaku, PELNI bersama Tim Manajemen Risiko BPKP melakukan proses penyusunan kebijakan Manajemen Risiko. Proses ini diawali dengan melakukan serangkaian assessment risiko yang disebut dengan “Program 100 Hari Kerja Manajemen Risiko”.
Setelah keseluruhan Program 100 Hari Kerja Manajemen Risiko tersebut, Tim BPKP menetapkan 10 Risiko teratas (Top Ten Risk) yang kemudian dipaparkan di depan Dewan Direksi dan Senior Manager PT. PELNI. Hasil akhir dari Risk Assessment ini dibentuk dalam buku Laporan Hasil Assessment Manajemen Risiko PT Pelni (Persero) tahun 2010. Hasil assessment ini ditandatangani oleh Kepala Perwakilan BPKP DKI Jakarta I dan digandakan serta didistribusikan ke stakeholder terkait. Pedoman Manajemen Risiko PT PELNI ini menjadi landasan kebijakan Risiko PT. PELNI yang ditetapkan pada 5 Juli 2011 melalui Surat Keputusan Direksi Nomor 127/HKO.01/DIR/VII-2011.
Di tengah persaingan bisnis transportasi, PELNI melakukan pembenahan dalam kinerja perusahaannya dengan menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Prinsip GCG atau Tata Kelola Perusahaan yang baik ini merupakan pendorong untuk melakukan proses bisnis yang lebih efektif dan efisien. Dari 2007, PELNI mulai menerapkan prinsip GCG tersebut sebagai landasan operasional kegiatan usaha perusahaan.
PELNI kembali melakukan penilaian (assessment) penerapan GCG PT PELNI (Persero) untuk mengetahui gambaran pengelolaan GCG pada 2010. Penilaian tersebut dilakukan oleh Tim dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dari 01 Februari 2011- 31 Mei 2011. Setelah melalui proses panjang, pada 05 Juli 2011, Tim dari BPKP memaparkan hasil assessment Penerapan GCG PT PELNI (Persero) di depan Dewan Komisaris, Dewan Direksi, dan pejabat PELNI di Kantor PELNI Pusat, Jakarta.
Hasil dari penilaian penerapan GCG ini cukup memuaskan, PELNI mendapatkan skor 72,01 dari skor maksimum 100. Skor ini melesat naik dari skor assessment sebelumnya pada 2007 yaitu 48,33. Secara keseluruhan, skor ini memiliki predikat cukup dan masih harus ditingkatkan untuk mendekati praktik-praktik terbaik GCG. Aspek-aspek yang diukur dalam penilaian ini antara lain Hak dan Tanggung Jawab Pemegang Saham/RUPS, Kebijakan GCG, Penerapan GCG, Pengungkapan Informasi serta Komitmen. Indikator yang diterapkan untuk PELNI ada 49 indikator dengan 151 parameter yang mencakup aspek-aspek di atas. Dari skor di atas, presentase capaian tertinggi ada pada aspek Kebijakan GCG sebesar 91,71%. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketersediaan struktur GCG di antaranya Pedoman GCG (Good Corporate Governance), Pedoman Perilaku (Code of Conduct), Piagam Komite Audit, (Audit Comittee Charter), Piagam SPI (Internal Audit Charter), Sistem Pengendalian Intern, kebijakan teknologi dan kebijakan terkait dengan stakeholders. Pemaparan hasil assessment GCG yang dilakukan oleh Tim BPKP tersebut dijelaskan oleh Kepala Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta, Ruchijat, Ak,MBA. Dalam pemaparannya, Ruchijat menekankan tentang perbaikan-perbaikan (area of improvement) yang masih perlu dilakukan di PELNI. Untuk metode yang diterapkan Tim BPKP dalam penilaian ini meliputi tahapan pendahuluan berupa penyamaan persepsi, tahapan pekerjaan lapangan (pengumpulan data, review dokumen, kuesioner, wawancara dan observasi), tahapan pengolahan data/analisis. Dalam tahapan analisis ini, dilakukan pemberian skor dalam setiap aspek yang diukur. Dengan skor tersebut, perusahaan bisa mengetahui hal-hal yang masih perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja dan proses bisnis yang ada.
Penerapan praktik GCG ini mengacu pada Surat Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara Selain itu, penerapan ini juga berdasarkan pada pasal 5 ayat 3 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang mewajibkan pengelolaan BUMN berdasarkan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.

C.    Perubahan setelah di terapkannya GCG (Good Corporate Governence) PT Pelni (Persero)
Setelah di paparkan tentang performa perusaahan pada tahun 90-an hingga awal 2000-an, dari pelayanan yang sangat buruk, hingga keuangan yang terpuruk. Pada tahun 2007 PT Peni mulai membuat perubahan melalui penerapan GCG yang di combain dengan sistem pengendalian internal yang lebih baik. Kombinasi GCG dan SPI ini sedikit demi sedikit merubah wajah Pelni di mata pelanggan. Kombinasi ini seperti tertera dalam gambar:
Perubahan itu dirasa sangat dirasakan oleh para pelanggan PT Pelni baik penumpang, barang maupun keagenan. Dengan adanya E-tiketing pelanggan dalam membeli tiket PT Pelni tidak perlu datang ke loket penjualan PT Pelni. Dengan E-tiketing, tiket dapat di peroleh melalui gerai pos, minimarket, agen tiket atau dapat dibeli langsung via Online. Dengan penerapan sistem ini meminimalisir penumpang tanpa tiket, karena dengan penerapan ini otomatis one man one site dapat di jalankan.
PT Pelni juga melakukan Spesial docking singgel class di beberapa kapal PSO dengan maksud merubah seluruh kabin kelas 1 dan 2 menjadi kelas Ekonomi wisata perubahan ini juga merubah tingkat kenyamanan penumpang dengan mengganti seluruh ruang ekonomi menjadi ruang kabin berisi 6 orang, ac yang di perbaharui, kamar mandi menjadi eksklusif dll. Karena kebanyakan pangsa penumpang PT Pelni adalah menengah kebawah, dengan berubah menjadi singgle class kapasitas penumpang menjadi meningkat otomatis pendapatan PT Pelni juga meningkat.
Selain itu perusahaan juga melakukan Modifikasi kapal menjadi 3 in 1 dan 2 in 1. Kapal-kapal PT Pelni yang mampu melakukan on time performance atau ketepatan waktu berangkat maupun tiba sangat di minati oleh pengusaha swasta/BUMN untuk melakukan pengiriman barang. Oleh kerena itu perubahan bentuk kapal yang semula kapal penumpang di ubah menjadi kapal penumpang, barang dan kendaraan. Distribusi barang, bahan pokok dan kendaraan keluar pulau sangat besar sehingga mampu meninggatkan pendapatan perusahaan.
Selain perubahan pada sektor fasilitas PT Pelni juga melakukan transformasi di sektor pelayanan makan penumpang, salah satunya penambahan menu suplemen food dimana penumpang selain mendapatkan makanan utama juga mendapatkan snack, susu dan juice. Perubahan pelayanan makan penumpang ini di rasa sangat merubah image PT Pelni yang semula terkenal dengan makanan penumpang yang kurang layak namun dengan penambahan dan perubahan sistem permakanan penumpang makanan penumpang PT Pelni sudah di katakan sangat memadai.



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Pada era tahun 90 an hingga awal 2000 PT Pelni sangat lemah dalam hal pelayanan dan birokrasi, namun masih sedikitnya persaingan usaha saat itu PT Pelni masih merajai lautan. Seiring berkembangnya teknologi dan munculnya berbagai kebijakan baru pemerintah di tambah lagi pelayanan yang buruk menyebabkan lambat tapi pasti PT Pelni mulai di tinggalkan para pelanggannya. Menyadari hal itu PT Pelni mulai berubah dalam hal manajerial, maupun kebijakan internal.
Perubahan mendasar yang telah di lakukan PT Pelni adalah pelaksanaan GCG dan membuat sistem pengendalian internal perusahaan. menciptakan sistem E-Tiketing, spesial docking Single Class, Modifikasi Kapal 3 in 1 dan 2 in 1, perubahan sistem layanan makanan penumpang kapal dan sinergi BUMN di berbagai bidang.

B.     SARAN
Perusahaan perlu melakukan perbaikan pada beberapa indikator antara lain perbaikan pelayanan kecepat tanggapan karyawan dalam menanggapi ketidaknyamanan penumpang selama perjalanan, jaminan keselamatan dan keamanan selama perjalanan, kemampuan berkomunikasi dan keramahan serta kesopanan karyawan di kapal. Selain perubahan-perubahan tersebut diharapkan PT Pelni juga melakukan inovasi di bidang teknologi informasi.

Tentang Aku

Unknown / Author & Editor

cinta bagiku merupakan pengorbanan, cinta bagai ku adalah kesesuaiaan dan keseimbangan...jika pencarian cinta tiada henti dan memang ditakdirkan untuk ku maka aku menerimanya karena kepercayaan akan adanya cinta itu yang terpenting

0 komentar:

Posting Komentar